Tarif 32 Persen dari AS: 5 Kebijakan Indonesia yang Jadi Biang Kerok

mediarelasi.id – Amerika Serikat baru-baru ini mengibarkan bendera tarif setinggi 32 persen terhadap produk dari Indonesia.
Bukan tanpa sebab, langkah ini dipicu oleh lima kebijakan dalam negeri Indonesia yang dianggap “mengganggu ketenangan” kepentingan dagang AS.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun angkat suara. Menurut Ketua Umum Kadin, Anindya Novyan Bakrie, pemerintah perlu segera melakukan klarifikasi menyeluruh terhadap tudingan dari Negeri Paman Sam ini.
“Kita harus pastikan apakah benar kebijakan kita memang merugikan, dan kalau iya, apa langkah selanjutnya,” ujarnya, Sabtu (5/4/2025).
Lima kebijakan yang menjadi bahan “komplain resmi” AS ini tercantum dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Berikut daftarnya:
1. Tarif Impor Barang Kiriman yang Terus Bergeser
AS menyoroti perubahan regulasi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) — dari PMK 199/2019 ke versi revisi PMK 96/2023. Mereka menilai, perubahan ini menyulitkan produk AS masuk ke pasar e-commerce Indonesia. Perubahan kecil, dampak besar.
2. Audit Pajak yang Dinilai “Membingungkan”
Proses audit oleh Direktorat Jenderal Pajak Indonesia dianggap tidak transparan dan terlalu kompleks. AS juga mencatat adanya denda administratif yang tinggi dan proses sengketa pajak yang lambat serta kurang preseden hukum. Birokrasi yang bikin pusing, katanya.
3. PPh Pasal 22: Bikin Waswas Pelaku Impor
PMK 41/2022 memperluas jenis barang impor yang dikenai PPh pasal 22. AS khawatir proses pengembalian kelebihan bayar akan memakan waktu bertahun-tahun. Klaim pajak yang “tersesat di labirin”.
4. Cukai Alkohol yang Lebih Tajam ke Impor
Cukai terhadap minuman beralkohol impor dinilai tidak seimbang. Untuk kadar alkohol 5–20%, cukai bisa 24% lebih tinggi daripada produk lokal. Kalau kadarnya di atas 20%, selisihnya bisa melonjak sampai 52%. AS menilai ini sebagai bentuk diskriminasi tarif.
5. Neraca Komoditas: Dari Strategis ke Segala Hal
Revisi Perpres Nomor 61 Tahun 2024 soal neraca komoditas juga jadi sorotan. Awalnya hanya mengatur lima komoditas penting, tapi kini diperluas ke 19 jenis produk. Bawang putih tahun 2025, apel dan jeruk menyusul di 2026. AS menilai lisensi impor makin ketat, dan makin luas.
Anindya menegaskan bahwa tudingan-tudingan ini perlu direspons dengan tenang namun tegas. “Indonesia perlu menunjukkan posisi resmi, lengkap dengan data dan argumen yang kuat. Kita tidak bisa hanya diam atau marah, harus cermat dan strategis,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa Kadin siap membantu jalur diplomasi ekonomi, terutama lewat koneksi dengan US Chamber of Commerce dan AmCham Indonesia. “Kita tidak bisa reaktif, tapi juga tidak boleh pasif. Diplomasi yang terukur adalah kuncinya.”
Responses