Robert Francis Prevost: Jejak Panjang Sang Paus Baru dari Amerika Serikat ke Takhta Suci Vatikan

mediarelasi.id – Dari lorong-lorong Chicago hingga dusun-dusun terpencil Peru, Robert Francis Prevost—kini Paus Leo XIV—telah menapaki jalan yang panjang dan penuh makna menuju Tahta Suci.
Sorak-sorai “Viva il Papa!” menggema dari Lapangan Santo Petrus bahkan sebelum nama sang pemimpin spiritual diumumkan secara resmi. Di usia 69 tahun, Robert Prevost dinobatkan sebagai Paus ke-267 dalam sejarah Gereja Katolik Roma, mengambil nama Leo XIV—nama yang sarat makna historis dan sosial.
Latar Belakang yang Melintasi Benua
Lahir di Chicago pada tahun 1955 dari keluarga berdarah Spanyol dan Prancis-Italia, Robert Francis Prevost kecil dibesarkan dalam lingkungan Katolik yang kuat. Ia pertama kali melayani sebagai misdinar sebelum ditahbiskan sebagai imam pada 1982.
Namun hidupnya tak hanya berkutat di Amerika Serikat. Pada 1985, ia memilih menjalani misi kemanusiaan di Peru. Di negara itu, ia tidak hanya dikenal sebagai imam, tetapi juga sebagai tokoh masyarakat yang membaur dengan komunitas miskin dan termarjinalkan.
Selama lebih dari satu dekade, ia menjadi pastor paroki sekaligus pengajar hukum kanonik di seminari di Trujillo, pantai utara Peru. Pada 2015, ia pun resmi menjadi warga negara Peru—yang sering disebutnya sebagai “tanah air kedua”.
Pemimpin yang Dekat dengan Akar Rumput
Kiprahnya yang panjang dalam pelayanan umat membuatnya dikenal luas di kalangan hierarki Gereja. Pada 2014, Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Uskup Chiclayo, dan pada 2023, ia ditunjuk sebagai Kardinal. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Prefek Dikasteri Para Uskup—lembaga penting yang menangani penunjukan dan pengawasan uskup di seluruh dunia.
Rekan-rekannya menggambarkan Leo sebagai sosok bersahaja, terbuka, dan peduli pada kaum miskin. Salah satu sahabat lamanya, Pastor John Lydon, menyebutnya “ramah dan membumi”.
Jejak Multikultural dan Akar Afrika-Amerika
Meski lahir di AS, identitas Leo XIV jauh dari sekadar “Paus Amerika”. Sejarawan asal Louisiana, Jari Honora, menyatakan bahwa garis keturunannya menyambung pada komunitas kulit hitam di New Orleans. Menurut catatan sejarah, keluarga ibunya pernah dikategorikan sebagai “mulato”, namun berpindah identitas menjadi “kulit putih” saat menetap di Chicago—praktik umum dalam menghadapi segregasi rasial.
Hal ini memperkaya dimensi identitas Leo XIV yang dianggap merepresentasikan jejaring sejarah yang lebih luas antara Amerika, Afrika, dan Eropa.
Isu Sosial dan Tantangan Moral
Pemilihan nama “Leo” tak sekadar simbolik. Dalam sejarah gereja, Paus Leo XIII terkenal karena ensiklik Rerum Novarum—sebuah dokumen penting tentang hak-hak buruh di era Revolusi Industri. Mengambil nama yang sama, Leo XIV diyakini akan melanjutkan semangat keadilan sosial dan reformasi.
Ia telah menyuarakan kepeduliannya pada isu lingkungan dan migrasi. Dalam berbagai kesempatan, ia mendesak gereja untuk beralih dari wacana ke tindakan nyata dalam menghadapi krisis iklim, termasuk lewat inisiatif seperti penggunaan panel surya di Vatikan.
Terkait isu LGBT, Leo mendukung kebijakan Paus Fransiskus yang membuka pintu bagi berkat terhadap pasangan sesama jenis dalam konteks pastoral lokal. Namun, ia menekankan perlunya penyesuaian terhadap norma budaya dan sosial di masing-masing wilayah.
Bayang-Bayang Skandal
Meski memiliki reputasi sebagai pemimpin yang progresif, masa lalu Leo XIV tak luput dari sorotan. Saat menjabat sebagai Uskup Chiclayo, ia dituduh gagal menindak tegas kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang imam. Tiga perempuan di Peru menyatakan bahwa laporan mereka pada 2022 tidak direspon serius oleh keuskupan.
Pihak gereja membantah, menyatakan investigasi internal telah dilakukan dan ditutup pada 2023 setelah jaksa lokal menyatakan bukti tidak cukup. Namun, penyelidikan kembali dibuka menyusul sorotan media.
Kasus ini menjadi salah satu tantangan berat yang harus dihadapi Leo XIV—sebuah ujian moral di tengah harapan umat akan transparansi dan keadilan di tubuh Gereja.
Langkah Awal di Takhta Petrus
Dalam pidato perdananya di hadapan ribuan umat di Vatikan, Paus Leo XIV memberi penghormatan kepada pendahulunya, Paus Fransiskus. “Kita masih mendengar suara beliau yang lemah namun penuh keberanian,” katanya.
Ia pun menyerukan persatuan: “Bersama Tuhan, mari kita melangkah maju, bergandengan tangan.”
Dengan warisan lintas budaya, pengalaman pastoral yang mendalam, dan pandangan yang terbuka terhadap dunia modern, Paus Leo XIV membawa harapan sekaligus tantangan besar bagi Gereja Katolik global.
Responses