PMDN Menggebrak: Modal Anak Negeri Mulai Bicara, Tapi Apa Ekonomi Siap Mendengar?

PMDN

mediarelasi.idPenanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mendadak mengambil alih sorotan, menyumbang Rp234,8 triliun atau 50,7% dari total investasi di kuartal pertama. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, PMDN mengungguli PMA.

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah sinyal: ada sesuatu yang bergerak dari dalam. Bahwa pengusaha-pengusaha lokal mulai percaya pada tanah airnya sendiri.

Menteri Investasi, Rosan Perkasa Roeslani, menyebut infrastruktur dan sektor properti sebagai pendorong lonjakan ini—terutama di Sumatera dan Riau, tempat jalan-jalan tol mulai membuka akses ke peluang-peluang baru. Tapi benarkah semua ini cukup untuk menjadi mesin penggerak ekonomi nasional?

Ketika Modal Lokal Menemukan Nafas Baru

Dominasi PMDN di awal 2025 bukan muncul begitu saja. Menurut Christiantoko dari NEXT Indonesia Center, ini adalah hasil dari narasi yang dibangun pemerintah—tentang pentingnya kemandirian ekonomi, tentang mengurangi ketergantungan pada asing, tentang membuat Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.

“Pertumbuhannya mencapai 19,1% yoy, lebih tinggi dari PMA yang hanya 12,7%,” ujarnya.

Sebuah angka yang tampak kecil, tapi dalam konteks geopolitik dan iklim usaha domestik, ini adalah pencapaian besar.

Namun, ada pertanyaan yang lebih besar di balik itu: jika PMDN sekarang mulai melaju, apakah perekonomian kita cukup siap untuk menopangnya?

Investasi di Tiga Poros: Efek Berantai atau Efek Samping?

Ekonom Syafruddin Karimi melihat geliat PMDN di sektor-sektor strategis sebagai langkah yang tepat. Transportasi, pergudangan, telekomunikasi, pertambangan, dan kawasan industri—ini bukan hanya “lahan basah”, tapi juga titik-titik pengungkit ekonomi.

“Transportasi mempercepat distribusi, pertambangan mendorong ekspor, kawasan industri menciptakan ekosistem,” katanya.

Kita bisa melihat rantai dampak dari sana: logistik membaik → biaya produksi turun → daya saing naik → usaha kecil ikut tumbuh. Di atas kertas, ini adalah ekosistem pertumbuhan.

Namun, ada sisi lain yang tak bisa diabaikan.

Ketika Padat Modal Menang, Apa Kabar Padat Karya?

Riza Annisa dari INDEF memperingatkan bahwa sektor padat modal memang efisien, tapi seringkali tak menyerap tenaga kerja secara masif. “Ini bisa memperlebar ketimpangan pendapatan,” ujarnya. Sebab, hanya tenaga kerja dengan keahlian tinggi yang terserap, sementara kelompok berpendidikan rendah akan tertinggal.

Dengan kata lain, pertumbuhan bisa terjadi tanpa pemerataan.

Modal Lokal, Tapi Milik Siapa?

Kekhawatiran lain datang dari FITRA. Baidul Hadi mengingatkan: dominasi PMDN tak otomatis berarti keberpihakan pada rakyat. Jika investasi hanya terkonsentrasi pada konglomerat nasional, maka Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tetap terpinggirkan.

“Jangan sampai PMDN hanya jadi pengalihan kekuatan dari asing ke elit domestik. Sementara pelaku usaha kecil tetap berjuang sendirian,” ujarnya.

Investasi Tak Cukup, Butuh Visi

PMDN boleh tumbuh. Tapi investasi hanyalah bahan bakar. Tanpa arah yang jelas, tanpa keberpihakan kebijakan, ia hanya akan memperbesar yang sudah besar, mempercepat yang sudah cepat.

Ekonomi yang sehat bukan sekadar soal modal, tapi soal ke mana modal itu diarahkan.

Apakah untuk membangun struktur ekonomi yang berkelanjutan?
Atau sekadar mendongkrak angka pertumbuhan jangka pendek?

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *