mediarelasi.id – Kereta ikonik Alishan Forest Railway yang sempat lumpuh akibat topan dan gempa bumi, kini kembali beroperasi. Lebih dari sekadar alat transportasi, jalur kereta bersejarah ini membangkitkan kehidupan desa-desa pegunungan, merayakan warisan budaya suku asli, dan memperkenalkan kembali makna perjalanan lambat di Taiwan.
Fakta menarik: bukan hanya kota yang punya kota kembar, jalur kereta warisan pun bisa punya “saudara jauh”. Hal ini terwujud saat saya menumpangi Alishan Forest Railway, yang kini kembali beroperasi sebagai kereta wisata sejak 2024, tepat 118 tahun setelah lokomotif uap pertama kali membawa kayu dari hutan ke pelabuhan.
Salah satu sosok yang mendorong pemulihan jalur ini adalah Michael Reilly, mantan perwakilan Inggris untuk Taiwan. Ia juga menjabat sekretaris perusahaan di jalur kereta Wales, Welshpool and Llanfair Light Railway. Pada 2022, Alishan Forest Railway secara resmi dijadikan “jalur kembar” Welshpool, ditandai dengan pengiriman lokomotif diesel bekas Alishan ke Wales—kini digunakan untuk membawa wisatawan melintasi perbukitan Powys.
Dengan lonjakan wisatawan internasional ke Taiwan, termasuk penambahan rute penerbangan dari Emirates yang memudahkan turis dari Inggris, Taiwan Railway Administration mendukung penuh kebangkitan jalur ini. Ini menjadi peluang untuk menampilkan sisi Taiwan yang belum banyak dijelajahi—jauh dari hiruk-pikuk Taipei dan menara Taipei 101 yang menjulang tinggi.
Namun, Alishan Forest Railway bukan sekadar atraksi wisata. Jalur ini menyimpan kisah sejarah panjang Taiwan yang dimulai dari masa kolonial Jepang.
Tahun 1900, lima tahun setelah Taiwan berada di bawah kekuasaan Jepang, seorang teknisi kereta api Jepang bernama Iida Toyoji mulai menyurvei rute pegunungan yang nantinya akan membawa kayu dari hutan Alishan ke pelabuhan. Jalur pertama selesai dibangun pada 1907. Lokomotif yang digunakan adalah Shay buatan Amerika Serikat, terkenal karena kekuatannya menarik beban berat di jalur menanjak dan berliku. Salah satu segmen jalurnya, Dulishan Spiral, bahkan memegang rekor dunia sebagai “spiral kereta terpanjang di dunia”. Meskipun jarak lurusnya hanya 570 meter, perbedaan ketinggian 233 meter membuat kereta harus menempuh 5 kilometer rel berkelok.
Prestasi teknik lainnya meliputi jembatan-jembatan yang membentang di atas lembah hijau Alishan serta puluhan terowongan yang dibor menembus pegunungan rawan longsor. Di beberapa titik perjalanan, saya melihat kembali potongan rel yang dilewati beberapa menit sebelumnya, menyadari betapa rumitnya jalur ini. Terkadang, sisa tanah longsor atau batang cemara tumbang menjadi pengingat tantangan besar para insinyur yang membangun rel di zona gempa aktif ini.
Namun, kisahnya tidak selalu mulus. Pembangunan sempat berhenti pada 1908 karena masalah dana. Pemerintah kolonial Jepang mengambil alih, dan pada 1912, kereta uap Shay kembali melaju. Layanan penumpang dimulai tahun 1920, namun hingga 1960-an, pengangkutan kayu tetap jadi tujuan utama. Setelah permintaan kayu menurun, ditambah kebakaran besar pada 1976 dan gempa Jiji 1999, layanan penumpang pun terhenti. Kerusakan besar akibat Topan Morakot pada 2009 menjadi pukulan terakhir yang menghentikan seluruh operasional.
Meski begitu, harapan untuk menghidupkan kembali jalur sepanjang 71 km dari Chiayi ke Stasiun Alishan (berada di ketinggian 2.216 meter) tak pernah padam. Jalur ini penting bagi masyarakat adat yang tinggal di pegunungan karena menghubungkan mereka dengan sekolah, fasilitas kesehatan, dan pasar. Beberapa segmen yang masih berfungsi tetap ramai dikunjungi wisatawan.
Upaya pemulihan mulai menunjukkan hasil pada 2013 dengan dukungan dari Taiwan Railway Administration dan Biro Kehutanan. Pada 2019, Kementerian Kebudayaan Taiwan menetapkan kawasan ini sebagai Lanskap Budaya Kehutanan dan Kereta Api Alishan. Proyek restorasi terus berjalan hingga akhirnya, pada 29 April 2024, kereta penumpang pertama melintasi jalur lengkap yang telah diperbaiki.
Saat kereta bergerak perlahan di antara hutan cemara yang harum, saya bisa merasakan tantangan yang dihadapi para perintis jalur ini. Di jalur ekstrem ini terdapat 50 jembatan dan 77 terowongan. Di tanjakan curam, alarm dari kabin sesekali berbunyi—tanda roda kereta kehilangan traksi. Banyak bagian jalur terlalu terpencil untuk dijangkau alat berat, sehingga bantalan rel harus dipasang secara manual. Di satu titik, kereta berbelok memasuki terowongan baru; di sisi kirinya terlihat lubang menganga bekas terowongan lama yang nyaris runtuh karena erosi.
Salah satu pemberhentian pertama adalah Lumachan, yang dulunya pusat produksi tembakau, kini dikelilingi sawah. Saat kereta berhenti beroperasi, stasiun dan gudang-gudang tembakau di sekitarnya ikut terbengkalai. Tapi kini, setelah layanan kembali aktif, kawasan ini bangkit kembali. Stasiun baru dengan atap berhias ubin cantik menyambut penumpang yang ingin mengunjungi Taman Budaya Tembakau, tempat mereka bisa menelusuri jejak masa lalu di gudang-gudang tembakau yang telah dipugar.