MUI Menilai Gagasan Prabowo tentang Pilkada oleh DPRD sebagai Pendekatan Visioner

MUI

mediarelasi.id Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh, menyatakan bahwa gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan ide yang sangat visioner. Menurutnya, pendekatan ini berpotensi membuat proses pilkada lebih efektif, efisien, berkeadilan, dan mampu mengurangi praktik politik uang yang merusak tatanan demokrasi.

“Alasan di balik gagasan ini sangat logis dan berdasarkan pengalaman nyata. Terlebih lagi, tujuan akhirnya adalah menciptakan kemaslahatan substantif sambil meminimalkan dampak negatif yang selama ini terjadi dalam sistem pilkada langsung. Bahkan, MUI pernah menyampaikan pandangan serupa dalam forum Ijtima Ulama se-Indonesia,” ujar Niam di Jakarta, Sabtu (14/12/2024).

Dalam Ijtima Ulama tersebut, dinyatakan bahwa pilkada langsung saat ini mengandung banyak kerugian (mafsadah). Beberapa di antaranya adalah:

  1. Terjadinya disharmoni dalam struktur kepemimpinan nasional.
  2. Biaya demokrasi yang sangat mahal, menghambat prioritas pembangunan masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
  3. Potensi konflik horizontal antar kelompok masyarakat yang melibatkan isu SARA.
  4. Kerusakan moral masyarakat akibat maraknya praktik politik uang (risywah siyasiyah).

“Dengan prinsip mengutamakan pencegahan terhadap mafsadat, sistem pilkada melalui perwakilan DPRD menjadi solusi yang lebih maslahat, selama tetap mempertahankan prinsip demokrasi yang sehat,” tambahnya.

MUI sebelumnya telah menyusun rekomendasi dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang digelar di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 2012.

Hasilnya menyoroti mekanisme ideal untuk memilih dan mengangkat kepala daerah yang sejalan dengan prinsip syariah dan membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Adapun poin-poin penting dari keputusan tersebut meliputi:

  1. Pemilihan dan pengangkatan kepala daerah, yang bertugas sebagai pengemban amanah untuk melindungi agama (hirasah al-din) dan mengelola urusan dunia (siyasah al-dunya), dapat dilakukan melalui berbagai metode yang disepakati masyarakat selama sesuai syariah.
  2. Pemilihan langsung hanya dapat dilaksanakan jika memenuhi syarat maslahat yang nyata, mendapat persetujuan masyarakat, dan terhindar dari mafsadat. Pilkada langsung juga dipandang sebagai media pembelajaran demokrasi sekaligus sarana untuk memperjuangkan hak politik individu.
  3. Meskipun pilkada langsung memungkinkan partisipasi masyarakat yang luas, dalam praktiknya, sistem ini sering kali memicu disharmoni politik dan sosial.

Namun, konteks sosial-politik dan moral masyarakat saat ini menunjukkan adanya ketidaksiapan yang cukup signifikan. Dalam banyak kasus, pilkada langsung telah menyebabkan:

  • Ketidakselarasan dalam hierarki pemerintahan nasional.
  • Beban biaya demokrasi yang sangat besar, menyulitkan alokasi anggaran pembangunan.
  • Konflik horizontal berbasis isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
  • Penyebaran praktik politik uang yang merusak integritas moral masyarakat.

“Dalam kondisi seperti ini, sistem perwakilan melalui DPRD lebih ideal karena dapat menekan berbagai dampak negatif tersebut. Namun, penting untuk memastikan bahwa sistem tersebut dirancang dengan prinsip demokrasi yang tetap menjaga kepercayaan publik dan akuntabilitas,” tegas Niam.

Gagasan ini sejalan dengan upaya mewujudkan demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif. Prabowo Subianto, sebagai Presiden, melihat kebijakan ini sebagai langkah maju untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia sambil menegakkan nilai-nilai keadilan sosial. Usulan ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu diskusi yang lebih mendalam di kalangan pengambil kebijakan, akademisi, dan masyarakat luas untuk menemukan solusi terbaik bagi bangsa.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *