Krisis Kemanusiaan Memburuk di Sudan

Sudan

mediarelasi.idKondisi di Sudan semakin memburuk seiring dengan konflik yang telah berlangsung lebih dari setahun antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Sejak pecahnya pertempuran pada April 2023, negara ini terjerumus ke dalam krisis kemanusiaan yang sangat parah, dengan jutaan warga sipil terpaksa mengungsi, layanan kesehatan lumpuh, dan distribusi bantuan yang terhambat.

Menurut laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 8 juta orang telah mengungsi, baik di dalam negeri maupun ke negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Ethiopia. Banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian yang kekurangan makanan, air bersih, dan akses medis.

“Sudan kini menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia yang terlupakan,” kata Martin Griffiths, Koordinator Bantuan Darurat PBB. “Kebutuhan kemanusiaan meningkat secara dramatis, namun akses untuk menjangkau mereka yang membutuhkan sangat terbatas akibat pertempuran yang masih berlangsung.”

Latar Belakang Konflik

Konflik di Sudan bermula dari perselisihan antara dua kekuatan utama: tentara nasional yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo, atau yang dikenal sebagai Hemedti. Kedua pihak sebelumnya bersekutu dalam menggulingkan pemerintahan sipil pada 2021, namun perebutan kekuasaan di antara mereka memicu pecahnya pertempuran terbuka.

Pertempuran yang berpusat di ibu kota Khartoum dengan cepat menyebar ke wilayah lain, termasuk Darfur, yang sudah lama menjadi wilayah rawan konflik. Di wilayah ini, kekerasan yang dilakukan RSF dan kelompok milisi lainnya dilaporkan menargetkan warga sipil berdasarkan identitas etnis.

Organisasi Human Rights Watch dan Amnesty International telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa.

Dampak Ekonomi dan Kemanusiaan

Selain korban jiwa dan penderitaan warga sipil, ekonomi Sudan runtuh hampir sepenuhnya. Mata uang Sudan mengalami depresiasi tajam, inflasi melonjak, dan aktivitas perdagangan terhenti. Banyak bank dan fasilitas publik rusak akibat konflik, sementara sistem transportasi lumpuh.

Kelaparan kini menjadi ancaman utama. Program Pangan Dunia (WFP) menyatakan bahwa lebih dari 20 juta orang menghadapi tingkat kerawanan pangan akut. Kekeringan dan gangguan pada musim tanam turut memperparah situasi ini.

“Tanpa gencatan senjata yang tahan lama dan peningkatan akses kemanusiaan, jutaan nyawa terancam,” ujar Cindy McCain, Direktur Eksekutif WFP.

Reaksi Internasional

Meskipun kecaman internasional telah dilayangkan kepada kedua belah pihak yang bertikai, upaya mediasi sejauh ini belum membuahkan hasil yang berarti. Pembicaraan damai yang difasilitasi oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat berulang kali gagal karena kurangnya komitmen dari para pemimpin militer.

Uni Afrika dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga telah mengeluarkan seruan untuk penghentian kekerasan dan pengiriman bantuan kemanusiaan, namun tidak disertai dengan langkah-langkah nyata yang bisa menekan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Sementara itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil Sudan terus menyerukan kembalinya pemerintahan sipil dan penghentian intervensi militer dalam urusan politik. Gerakan pro-demokrasi yang pernah menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada 2019 kini kembali bangkit, meskipun menghadapi represi dari kedua pihak yang berseteru.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Situasi di Sudan menunjukkan tanda-tanda akan menjadi konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di negara-negara tetangga seperti Libya dan Suriah. Tanpa tekanan internasional yang lebih besar dan kesepakatan politik yang inklusif, prospek perdamaian tampak suram.

Bagi rakyat Sudan, harapan akan kehidupan normal semakin menipis. Banyak yang kini hanya berharap bisa bertahan hidup hari demi hari, sambil menggantungkan harapan pada organisasi kemanusiaan yang berjuang masuk ke zona konflik.

“Saya kehilangan rumah, suami, dan pekerjaan,” kata Aisha, seorang pengungsi dari Khartoum yang kini tinggal di kamp perbatasan Sudan-Chad. “Saya tidak tahu apakah kami bisa kembali. Tapi saya tahu anak-anak saya perlu makan.”

Sudan kini berdiri di persimpangan antara perdamaian yang rapuh dan kekacauan berkepanjangan. Dunia internasional dituntut untuk bertindak sebelum terlambat.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *