mediarelasi.id – Koordinator Sub Komisi Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Uli Parulian Sihombing, membeberkan temuan Komnas HAM terkait insiden ledakan saat proses pemusnahan amunisi di Garut, Jawa Barat.
Kejadian tersebut menelan korban jiwa sebanyak 13 orang, terdiri dari empat anggota TNI Angkatan Darat dan sembilan warga sipil.
Menurut Uli, proses pemusnahan amunisi yang dilakukan oleh Pusat Peralatan Angkatan Darat (Puspalad) melibatkan 21 pekerja harian lepas yang berasal dari masyarakat sekitar.
“Biasanya kegiatan ini melibatkan setidaknya satu pleton prajurit TNI AD, yaitu sekitar 30 hingga 50 personel. Mereka juga mendirikan sejumlah tenda sebagai tempat istirahat, penyimpanan amunisi, dan dapur umum,” jelas Uli dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (23/5).
Selain prajurit, 21 warga sipil turut membantu proses pemusnahan. Namun, mereka hanya mendapat upah harian sekitar Rp150 ribu tanpa pelatihan khusus dari pihak TNI. Para pekerja belajar secara otodidak selama bertahun-tahun.
Padahal, menurut standar PBB, keterlibatan warga sipil dalam penanganan amunisi haruslah didasarkan pada keahlian dan kompetensi khusus. Sayangnya, para pekerja tersebut tidak diberikan alat pelindung diri yang memadai.
“Pada kejadian tanggal 12 Mei 2025, para pekerja yang berjumlah 21 orang ini membantu pemusnahan amunisi kedaluwarsa dengan bayaran harian Rp150 ribu. Mereka belajar sendiri, tanpa proses pelatihan resmi,” ujar Uli.
Sebelum ledakan terjadi, telah terjadi perbedaan pendapat antara Komandan Gudang Pusat Amunisi (Gupusmu) dan koordinator pekerja, Rustiawan, yang sudah berpengalaman 10 tahun. Perdebatan itu terkait cara menangani detonator sisa amunisi. Biasanya, detonator dibuang ke laut agar cepat tidak aktif, namun kali ini diputuskan untuk ditimbun dengan campuran pupuk urea.
“Rustiawan, yang kemudian menjadi korban, berselisih pendapat soal penanganan detonator. Biasanya detonator ditenggelamkan ke dasar laut, tapi saat itu diputuskan untuk menimbun dengan campuran pupuk,” jelas Uli.
Saat memasukkan drum berisi amunisi ke dalam lubang, ledakan tiba-tiba terjadi, melukai orang yang berada di dalam dan sekitar lubang.
“Drum yang berisi detonator dimasukkan ke dalam lubang dengan beberapa pekerja berada di dalam lubang dan di sekitarnya, lalu ledakan terjadi secara tiba-tiba,” tambah Uli.
Selain itu, Komnas HAM mencatat adanya warga sekitar yang mengumpulkan sisa amunisi setelah proses pemusnahan. Bahkan beberapa membawa peti bekas amunisi ke rumah masing-masing untuk dipakai ulang.
“Setelah proses pemusnahan, sekitar 50 warga biasanya berkumpul mengambil sisa ledakan amunisi dan kerap membawa pulang peti bekas amunisi untuk berbagai keperluan,” imbuhnya.
Hingga kini, TNI belum memberikan tanggapan resmi atas temuan Komnas HAM tersebut. Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, belum memberikan respons saat dihubungi.