Fenomena atau Fiksi? Mengupas Mitos Matahari Kembar yang Terus Hidup di Tengah Masyarakat

Matahari Kembar

mediarelasi.id Salah satu kisah yang kerap muncul di berbagai belahan dunia adalah tentang matahari kembar—sebuah peristiwa yang diklaim memperlihatkan dua matahari bersinar bersamaan di langit. Apakah ini sekadar ilusi optik, atau benar-benar menyimpan makna mistis seperti diyakini dalam berbagai mitos kuno?

Beberapa video dan foto yang viral di media sosial sering kali memperlihatkan dua cahaya terang di langit, berdampingan seperti “dua matahari”. Meskipun para ilmuwan menjelaskan bahwa fenomena tersebut kemungkinan besar adalah sun dog (atau parhelion, fenomena optik akibat pembiasan cahaya matahari oleh kristal es di atmosfer), mitos tentang matahari kembar sudah jauh lebih tua daripada kamera ponsel dan sains atmosfer.

Jejak Mitos di Berbagai Budaya

Dalam berbagai kebudayaan kuno, matahari kembar sering dimaknai sebagai pertanda besar—baik bencana maupun perubahan zaman. Di wilayah Asia Tenggara, misalnya, munculnya matahari ganda dikaitkan dengan datangnya kekacauan besar atau keruntuhan suatu peradaban.

Menurut Dedi Santoso, peneliti mitologi Nusantara dari Universitas Indonesia, catatan lisan tentang matahari kembar ditemukan dalam tradisi lisan suku-suku di Kalimantan dan Papua. “Biasanya diceritakan oleh tetua adat sebagai tanda zaman akan berubah drastis, entah karena perang, bencana alam besar, atau pergantian penguasa,” ujarnya.

Sementara itu, dalam mitologi Cina kuno, dikenal legenda sepuluh matahari—di mana kesepuluhnya sempat muncul bersamaan di langit dan membakar bumi. Kaisar Yao akhirnya memerintahkan pemanah legendaris Hou Yi untuk menembak jatuh sembilan matahari, menyisakan satu untuk kehidupan manusia.

Sains Menjawab, Mitos Tetap Bertahan

Secara ilmiah, matahari kembar bukanlah dua bintang yang nyata. Fenomena ini umumnya disebut parhelion, di mana cahaya matahari dibelokkan oleh kristal es berbentuk heksagonal di atmosfer atas, membentuk cahaya terang di sisi kanan dan kiri matahari. Fenomena ini bisa terjadi saat matahari rendah di cakrawala, terutama di daerah dengan iklim dingin.

Namun penjelasan sains tidak serta-merta memadamkan narasi mitologis. “Mitos bertahan karena mereka bukan hanya menjelaskan, tapi juga memberi makna,” kata Dr. Ratri Widyaningrum, antropolog dari Universitas Gadjah Mada.

“Bagi masyarakat tradisional, munculnya dua matahari bukan tentang optika, tapi tentang keseimbangan kosmis yang terganggu.”

Ia menambahkan, mitos seperti ini berfungsi sebagai alarm budaya—cara masyarakat untuk memahami hal-hal luar biasa yang mengganggu keteraturan alam.

Oleh karena itu, meskipun secara logis bisa dijelaskan, kisah matahari kembar tetap hidup dalam cerita rakyat, dongeng sebelum tidur, hingga tafsir spiritual.

Matahari Kembar di Era Digital

Yang menarik, mitos matahari kembar kini juga hidup subur di era internet. Di berbagai forum dan platform seperti TikTok atau Reddit, video yang diduga merekam matahari kembar terus bermunculan. Beberapa di antaranya viral dan menimbulkan spekulasi liar: mulai dari teori konspirasi, pertanda kiamat, hingga kedatangan planet misterius seperti “Nibiru”.

Astronom amatir dan ilmuwan pun harus sering turun tangan menjelaskan, bahwa apa yang tampak sebagai dua matahari biasanya adalah lens flare, efek kamera, atau refleksi optik lainnya.

Meski begitu, daya tarik visual dan misteri dari “dua matahari” tetap sulit disangkal. Manusia, pada dasarnya, punya ketertarikan mendalam pada langit—dan saat sesuatu tampak tak biasa di atas sana, imajinasi akan selalu mengambil alih lebih dulu ketimbang penjelasan ilmiah.

Akankah Mitos Ini Pernah Padam?

Kemungkinan besar tidak. Mitos matahari kembar, seperti halnya legenda gerhana atau bintang jatuh, akan terus menjadi bagian dari narasi manusia memaknai langit. Entah sebagai simbol bencana, pertanda spiritual, atau sekadar dongeng untuk mengajarkan nilai hidup.

Dan mungkin, saat dua cahaya kembali muncul berdampingan di langit suatu hari nanti, kita akan tetap menengadah—bukan hanya dengan mata, tapi juga dengan rasa ingin tahu yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *