Di Balik Tembok Tarif Donald Trump: Ketika Amerika Tak Lagi Ingin Jadi Pasar Dunia

mediarelasi.id – Di tengah arus globalisasi yang makin kompleks, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, kembali mengambil langkah konfrontatif: menaikkan tarif impor untuk sejumlah negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Langkah ini bukan pertama kali, namun resonansinya kini terasa lebih dalam—karena menyentuh bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga kedaulatan industri dan arah masa depan perdagangan global.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membaca langkah ini bukan semata manuver ekonomi, tapi bagian dari narasi politik yang lebih besar. “Liberation day,” begitu Airlangga menyebutnya.
Sebuah momen di mana Amerika mencoba melepaskan diri dari ketergantungan impor yang selama ini dianggap menggerogoti industri dalam negerinya sendiri.
“Remanufaktur menjadi kunci bagi mereka untuk membuka kembali lapangan kerja, menghidupkan industri yang mati suri,” ujar Airlangga dalam forum diskusi di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Ekonomi Amerika: Dari Pasar Bebas ke Proteksi Nasionalis
Kebijakan tarif ini pada dasarnya adalah cermin dari keinginan Amerika untuk menyusun ulang posisi dalam rantai pasok global—dari importir dominan menjadi produsen mandiri. Sebuah perubahan arah tajam dari semangat pasar bebas yang pernah mereka promosikan puluhan tahun lalu.
Namun, seperti dominonya yang jatuh satu per satu, langkah protektif AS ini bisa memukul banyak sektor di negara mitra—termasuk Indonesia. Industri seperti alas kaki, garmen, mebel, hingga perikanan kini menghadapi badai yang tidak diciptakan oleh pasar, melainkan oleh kebijakan.
Indonesia: Menjaga Neraca, Merajut Diplomasi
Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Airlangga menegaskan bahwa berbagai jalur diplomasi sedang ditempuh untuk menghindari efek domino yang terlalu besar bagi industri dalam negeri. Sebab, ketika tarif naik, bukan hanya ekspor yang terganggu, tetapi juga stabilitas kerja dan ekonomi lokal.
Namun di tengah tantangan, ada peluang: Indonesia menyodorkan tawaran strategis—kerja sama di sektor mineral kritis. Dalam lanskap global yang tengah berebut bahan baku untuk teknologi masa depan, Indonesia punya daya tawar. Nikel, kobalt, dan berbagai elemen penting lainnya menjadi kartu diplomasi baru yang lebih kuat dari sekadar barang konsumsi.
“Industri masa depan bukan lagi tekstil atau sepatu. Tapi critical minerals, otomotif listrik, hingga satelit dan alat pertahanan,” ujar Airlangga. Di situlah letak kekuatan negosiasi Indonesia saat ini.
Ketika Tarif Jadi Simbol Perlawanan
Tarif bukan hanya tentang angka dan persentase. Ia adalah simbol geopolitik baru, tanda bahwa negara-negara besar mulai menggambar ulang peta ekonomi global mereka. Di satu sisi, ini ancaman. Tapi di sisi lain, ini adalah panggilan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menata ulang strategi industrialisasinya.
Bukan hanya jadi pemasok bahan mentah, tapi pemain aktif dalam rantai nilai global yang lebih adil.
Responses