mediarelasi.id – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga multilateral yang selama ini menjadi wajah diplomasi global, tengah menghadapi badai keuangan terbesar dalam sejarah modernnya. Dari markas besarnya di New York, desas-desus pemangkasan besar-besaran akhirnya dikonfirmasi dalam sebuah memo internal yang bocor ke publik: anggaran senilai $3,7 miliar (sekitar Rp60 triliun) akan dipotong hingga 20 persen, dan hampir 7.000 pegawai diperkirakan harus angkat koper.
Memo yang ditulis oleh Kepala Keuangan PBB, Chandramouli Ramanathan, menginstruksikan staf untuk menyerahkan rencana pemotongan masing-masing unit paling lambat 13 Juni. Namun, yang tidak tertulis secara eksplisit dalam memo itu—tapi tak bisa diabaikan—adalah biang keladi dari krisis ini: Amerika Serikat, penyumbang tunggal terbesar anggaran PBB, mangkir dari komitmennya.
Dengan tunggakan yang membengkak hingga $1,5 miliar, termasuk utang masa lalu dan kontribusi untuk tahun fiskal berjalan, AS praktis membuat keuangan PBB pincang. Negara adidaya itu biasanya menanggung hampir seperempat dari total anggaran tahunan. Kini, bahkan penyumbang terbesar kedua, Tiongkok, juga mengalami keterlambatan pembayaran, membuat lubang finansial semakin dalam.
Pemangkasan ini merupakan bagian dari inisiatif bertajuk “UN80”—sebuah proyek ambisius yang diluncurkan Maret lalu untuk menata ulang tubuh PBB menjelang ulang tahunnya yang ke-80. Dalam memo itu, Ramanathan menggambarkan UN80 sebagai program reformasi menyeluruh yang ditujukan untuk membawa organisasi ke era baru multilateralisme abad ke-21.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyatakan bahwa langkah ini bukan sekadar penghematan, tetapi restrukturisasi mendalam. Ia menyebut rencana penggabungan departemen, pemindahan sumber daya ke kawasan rawan krisis, hingga relokasi kantor ke kota-kota yang lebih terjangkau sebagai bagian dari langkah rasionalisasi.
Tak hanya itu, konsolidasi badan-badan PBB yang selama ini kerap bertumpang tindih juga akan dilakukan. Birokrasi yang lamban dan gemuk menjadi sasaran reformasi. “Kita tidak bisa lagi menunda keputusan sulit,” tegas Guterres. Menurutnya, krisis ini adalah cambuk yang memaksa perubahan—dan itu bukan hal yang buruk.
Namun di balik upaya “pemangkasan sehat” ini, bayang-bayang ketidakpastian menggantung. Ribuan staf harus bersiap menghadapi keputusan yang bisa mengubah hidup mereka. Sementara itu, di Washington dan Beijing, dua negara penyumbang utama PBB, belum ada kepastian soal pelunasan tunggakan.
Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tak mungkin peran dan bentuk PBB pasca-2025 akan terlihat sangat berbeda. Dari simbol kerja sama global, kini PBB berada di persimpangan antara reformasi atau stagnasi.