mediarelasi.id – Ada yang istimewa dari sebungkus botok yang mengepul di atas meja makan: ia tak hanya membawa rasa, tapi juga kenangan. Kenangan tentang dapur nenek, aroma kelapa parut yang ditumis, dan suara kukusan yang lirih memanggil lapar. Di balik balutan daun pisang, botok menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar lauk pauk.
Botok adalah kisah yang dikukus dalam keheningan. Ia tidak digoreng dalam gegap gempita atau dibakar dengan nyala besar. Ia dimatangkan dalam pelan, seperti nilai-nilai Jawa yang tumbuh dengan kesabaran dan kesahajaan.
Dibuat dari rempah dan kelapa parut, lalu dipadukan dengan tempe, tahu, ikan, bahkan jantung pisang, botok bukan soal satu bahan—tapi tentang harmoni. Ia tak menuntut kesempurnaan, melainkan keikhlasan dari sang peracik. Karena setiap bumbu, setiap iris, setiap lipatan daun, semua mengandung niat baik.
“Botok itu bukan cuma makanan, tapi cara kita menjaga ingatan,” ucap Alex, seorang penggemar botok yang tumbuh bersama masakan tradisional.
Baginya, botok adalah simbol keterhubungan antara rasa dan rumah.
Yang membuat botok istimewa bukanlah tampilannya, melainkan fleksibilitasnya. Tak ada dua botok yang benar-benar sama. Setiap wilayah, bahkan setiap rumah, punya cara berbeda dalam meraciknya. Namun dari perbedaan itulah tercipta kekayaan: ragam rasa yang berpangkal pada akar yang sama.
Di tengah zaman yang serba cepat, botok hadir sebagai pengingat: bahwa hal-hal terbaik sering lahir dari proses yang perlahan. Di tengah tren kuliner kekinian, botok berdiri tenang—tidak untuk bersaing, tapi untuk menyentuh. Ia tidak berteriak dalam bentuk plating mewah, tapi berbisik pelan dalam aroma hangat yang menenangkan.
Mungkin, itulah kekuatan sejati botok: ia tidak mencoba menjadi tren. Ia hanya menjadi dirinya sendiri. Dan justru karena itu, ia tak pernah benar-benar hilang.
Botok adalah rasa yang terus hidup, disimpan dalam lipatan daun pisang, dikukus dalam ingatan, dan disajikan dengan cinta.