mediarelasi.id – Pada akhir abad ke-19, Sekolah Dokter Jawa—pendahulu STOVIA—mengalami reformasi kurikulum menjadi program sembilan tahun dan dikenal sebagai Sekolah Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Lulusan institusi ini mendapat gelar Inlandsche Arts dan biasanya ditugaskan ke wilayah pedalaman untuk menangani wabah penyakit.
Pembangunan Gedung Baru di SalembaPada 1899, korps Zeni Hindia Belanda memulai pembangunan kampus STOVIA di atas lahan seluas 15.742 m² di Gang Manjangan (kini Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh), Weltevreden. Biaya yang disediakan pemerintah kolonial ternyata kurang, sehingga Dr. H.F. Roll aktif menggalang sumbangan dari tokoh seperti P.W. Jansen, J. Nienhuys, dan H.C. van den Honer. Dengan total dana sekitar Fc. 178.000, gedung baru akhirnya rampung dan diresmikan pada 1902.
Karakter Arsitektur dan FungsiDirancang dengan kekuatan struktural ala benteng militer, bangunan STOVIA mengutamakan fungsi. Fasad depan minim ruang peralihan, sedangkan ventilasi mengandalkan jendela ganda Eropa yang dilengkapi kisi-kisi untuk sirkulasi udara. Penampilan yang terkesan “kaku” itu mencerminkan prioritas efisiensi dan ketahanan bangunan.
Perpindahan dan Pemanfaatan Gedung LamaSeiring kebutuhan ruang yang kian meningkat, pada 1920 seluruh kegiatan pendidikan dipindahkan ke gedung yang lebih luas di Salemba. Bangunan STOVIA awal kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah Menengah Umum Lanjutan (MULO), menandai era baru pemanfaatan fasilitas kolonial.
Kelahiran Budi UtomoLebih dari sekadar lembaga pendidikan, STOVIA menjadi saksi lahirnya pergerakan kebangkitan nasional. Pada 20 Mei 1908, mahasiswa dan alumni menggelar rapat pendirian Budi Utomo di Ruang Anatomi kampus—sebuah momentum yang kemudian diperingati sebagai tonggak awal pergerakan kemerdekaan Indonesia.