Majalah Playboy Bangkit dengan Wajah Baru: Dari Simbol Seks ke Jurnalisme Progresif

Playboy

mediarelasi.id – Pernah menjadi ikon kebebasan seksual dan gaya hidup glamor, Majalah Playboy kini memasuki babak baru. Setelah sempat berhenti terbit cetak pada 2020 dan bertransformasi menjadi platform digital, Playboy mengumumkan kembalinya edisi cetak dengan visi yang lebih inklusif dan berani menantang zaman.

Tak lagi hanya dikenal lewat sampul sensual dan simbol kelinci berseteling bow tie, Playboy kini hadir sebagai media budaya pop, politik, dan hak asasi, yang menyasar generasi muda dengan perspektif progresif.

“Kami tak sekadar hidup kembali. Kami berevolusi,” ujar Ben Kohn, CEO Playboy Enterprises, dalam konferensi pers daring yang digelar Selasa malam.

“Playboy adalah ruang kebebasan berekspresi, dan hari ini, kami membuka lembaran baru—tanpa meninggalkan sejarah kami.”

Transformasi Konten: Dari Erotika ke Esai Sosial

Edisi perdana versi cetak tahun 2025 yang dirilis bulan ini menampilkan wajah baru: sampul bergaya seni kontemporer tanpa foto telanjang, menggantikan tradisi lama. Fokus utama Playboy kini berada pada esai, wawancara panjang, liputan mendalam, dan karya seni yang memprovokasi pemikiran.

Wawancara eksklusif dengan aktivis trans, penyair muda, hingga pendiri startup etis mengisi halaman-halaman majalah yang dulunya identik dengan pin-up girl. Tak ketinggalan, kolom opini tentang kecerdasan buatan, etika seksual, hingga feminisme digital menjadi sajian tetap.

Kembali ke Akar Intelektual

Meskipun sering kali dibayangi citra erotis, sejarah mencatat bahwa Playboy juga pernah menjadi rumah bagi tulisan para pemikir besar—dari Malcolm X hingga Margaret Atwood. Kini, warisan itu coba dihidupkan kembali, namun dengan sensitivitas baru terhadap isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender, identitas, dan keadilan sosial.

“Ini bukan sekadar rebranding,” jelas Rachel Wolfson, pemimpin redaksi terbaru dan perempuan pertama yang memimpin redaksi Playboy secara penuh. “Ini revolusi naratif tentang siapa yang punya kuasa atas tubuh, pikiran, dan suara mereka.”

Digital Tetap Jadi Ujung Tombak

Meski edisi cetak kembali beredar, Playboy tetap mempertahankan jangkauan digitalnya yang kini menjelma jadi komunitas online bernama Centerfold—platform yang memberikan ruang kepada para kreator konten dewasa independen, mirip dengan OnlyFans namun dengan kurasi dan pendekatan editorial yang ketat.

Respon Publik: Campuran Antara Apresiasi dan Skeptisisme

Respons terhadap transformasi Playboy beragam. Kalangan muda menyambut baik narasi yang lebih inklusif dan mendalam, sementara sebagian kritikus menilai perubahan ini terlalu drastis dan berisiko kehilangan identitas awal.

Namun satu hal pasti: Playboy tidak lagi sekadar majalah pria dewasa, melainkan medium lintas generasi yang mencoba menjawab ulang pertanyaan lama: Apa arti kebebasan dalam masyarakat modern?

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *