Status Baru Petinggi BUMN: Antikritik, Antikorupsi?

mediarelasi.id – UU BUMN 2025 membuka babak baru yang kontroversial: para direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN tak lagi dianggap penyelenggara negara. Dalam lanskap pemberantasan korupsi, perubahan ini dikhawatirkan menjadi “tameng hukum” baru bagi elite BUMN yang ingin meloloskan diri dari jerat pidana.
Menurut Gita Atikah dari Transparency International Indonesia, perubahan ini bisa makin menyempitkan ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang wewenangnya sudah lebih dulu “dipreteli” sejak revisi UU KPK tahun 2019. Kini, lembaga antirasuah itu hanya bisa menyentuh kasus yang melibatkan penyelenggara negara atau menyangkut kerugian minimal Rp1 miliar.
Ironisnya, perubahan status ini muncul justru di tengah deretan skandal besar yang mengguncang BUMN. Dari kasus dugaan pengoplosan BBM Pertamina yang diduga merugikan negara hingga Rp193 triliun di tahun 2023, hingga korupsi tambang timah di PT Timah yang disebut-sebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun.
Presiden Prabowo Subianto pun sempat berkomentar tegas soal kasus ini. “Kami akan bersihkan,” ujarnya di akhir Februari 2025. Tapi pertanyaannya: dengan celah hukum sebesar ini, bisakah benar-benar dibersihkan?
Celakanya “Celaka”: Direksi BUMN Tak Lagi Penyelenggara Negara
Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 menyebut tegas bahwa jajaran puncak BUMN bukan lagi penyelenggara negara. Ini otomatis mencabut keikutsertaan mereka dalam rezim hukum yang berlaku bagi pejabat publik—seperti yang sebelumnya diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Menurut pengamat BUMN, Toto Pranoto, ini dilakukan agar para eksekutif BUMN lebih “lincah” dalam mengambil keputusan bisnis. Tapi bagi kalangan pegiat antikorupsi, kelincahan itu bisa berubah menjadi liar bila tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat.
KPK dan Lembaga Hukum Lain Masih Punya Jalan?
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani, menjelaskan bahwa meskipun KPK jadi terbatas, bukan berarti hukum kehilangan taring. Ia mencontohkan, direksi BUMN yang menyalahgunakan posisi bisa dijerat lewat Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan, atau kelak Pasal 488 di KUHP baru yang berlaku tahun 2026.
“Strategi pemberantasan korupsi harus bergeser,” kata Eva. Ia menekankan pentingnya koordinasi antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk tetap bisa mengejar pelaku kejahatan korporasi di BUMN.
Pandangan ini didukung Johanis Tanak, pimpinan KPK. Ia menyatakan bahwa siapa pun, termasuk masyarakat biasa, bisa dijerat hukum tipikor asal memenuhi unsur delik korupsi.
Tidak Kebal, Tapi Kini Tersembunyi
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menampik tudingan bahwa perubahan UU BUMN ini memberi kekebalan hukum. Namun, penghapusan status “penyelenggara negara” tetap menjadi kabut tebal yang berisiko mengaburkan posisi bos BUMN sebagai pejabat publik.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir telah melakukan kunjungan ke KPK untuk menyelaraskan langkah ke depan. Namun publik berharap, pertemuan seperti ini tidak hanya menjadi formalitas belaka.
Kejaksaan Agung pun tampak berhati-hati menyikapi aturan baru. Tapi menurut Harli Siregar, juru bicara Kejaksaan, selama ada indikasi penipuan kebijakan, fraud, atau persekongkolan jahat, maka unsur korupsi tetap bisa dipenuhi.
Tanda Tanya Besar: Siapa Kini yang Jaga Gerbang?
UU BUMN terbaru membuka peluang investasi dan manuver bisnis. Namun di saat yang sama, ia juga membuka ruang sunyi yang bisa saja menjadi tempat persembunyian bagi praktik korupsi.
Lantas, siapa kini yang bisa menjaga agar uang rakyat tak dirampok dari balik ruang rapat direksi?
Jawabannya bukan hanya di tangan penegak hukum—tapi juga publik, media, dan keberanian politik untuk tidak membiarkan BUMN berubah dari “tulang punggung negara” menjadi “lubang hitam uang negara”.
Responses