PSU Tak Boleh Jadi Kebiasaan: Bima Arya Dorong Evaluasi Menyeluruh, Tekankan Politik Tanpa “Cawe-Cawe”

Bima Arya

mediarelasi.id – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan bahwa pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tak boleh menjadi siklus yang terus berulang dalam proses demokrasi. Dalam Rapat Kerja dan RDP Komisi II DPR RI bersama penyelenggara pemilu, Bima menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh dan mendalam terhadap pelaksanaan PSU di berbagai daerah.

“PSU harus dievaluasi secara mendasar. Bukan sekadar tambal sulam teknis, tapi peninjauan menyeluruh yang menyentuh akar persoalan. Jangan sampai hal-hal seperti ini dianggap biasa dalam pemilu kita,” ujar Bima dalam pernyataan resminya, Selasa (6/5/2025).

Menurut mantan Wali Kota Bogor ini, salah satu kunci agar PSU tak terus terjadi adalah membangun komitmen bersama untuk tidak melakukan intervensi politik. “Cawe-cawe politik adalah benih kerusakan dalam demokrasi. Netralitas adalah harga mati,” tegasnya.

Masih Ada Lima Daerah Tertinggal, Anggaran Jadi Perhatian

Hingga awal Mei 2025, dari total 24 daerah yang dijadwalkan menggelar PSU, sebanyak 19 telah selesai, sementara 5 lainnya masih menunggu pelaksanaan. Di antaranya:

  • 24 Mei 2025: Kota Palopo, Kabupaten Mahakam Hulu, dan Kabupaten Pesawaran
  • 9 Agustus 2025: Provinsi Papua dan Kabupaten Boven Digoel

Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, dalam rapat bersama Komisi II di Senayan (5/5), menyampaikan bahwa penyelenggaraan PSU dilakukan dalam sejumlah klaster waktu, mengikuti ketetapan Mahkamah Konstitusi. Hal ini disesuaikan dengan kompleksitas perkara dan wilayah yang terdampak.

Sementara itu, Wamendagri Bima Arya menyatakan bahwa pihaknya, bersama Wamendagri Ribka Haluk, akan membagi tugas memantau langsung PSU di daerah. Ia juga menggandeng Ditjen Otonomi Daerah dan Ditjen Bina Keuangan Daerah untuk memastikan bahwa anggaran PSU digunakan secara efisien.

“Tak bisa dibiarkan anggaran terbuang sia-sia hanya karena ketidaksiapan atau kecerobohan. Setiap rupiah harus bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

PSU dan Iklim Politik: Masalah Teknis atau Masalah Etika?

Bima juga menyoroti aspek prosedural di Mahkamah Konstitusi yang menurutnya perlu dibahas lebih lanjut secara teknis agar tidak membuka ruang spekulasi dan manipulasi. Namun, lebih dari itu, ia menyebut bahwa maraknya PSU sebenarnya menyimpan persoalan yang lebih dalam: integritas politik yang dipertanyakan.

“Yang kita butuhkan bukan hanya pembenahan sistem, tapi pembenahan sikap. Komitmen politik tanpa intervensi adalah fondasi utama demokrasi yang sehat,” ujarnya menutup pernyataan.


Pelaksanaan PSU memang dimaksudkan untuk menjamin keadilan pemilu, tapi jika terus berulang, kepercayaan publik yang jadi taruhannya. Evaluasi menyeluruh yang dikawal dengan transparansi dan integritas menjadi keharusan, bukan sekadar wacana.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *