Ketika Suara Eky Priyagung Menggema: Negara Tak Lagi Bisa Menutup Mata

mediarelasi.id – Sebuah kisah kelam dari masa kecil muncul ke permukaan, bukan dari ruang pengadilan, tapi dari sebuah video di media sosial. Komika Eky Priyagung, dengan suara yang bergetar namun mantap, membuka luka lamanya: ia mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh guru mengajinya saat masih berusia 13 tahun.
Kisah ini terjadi bertahun-tahun lalu, tepatnya di lingkungan masjid di Kecamatan Rappocini, Makassar. Namun trauma, seperti kita tahu, tidak mengenal waktu. Ia hidup diam-diam, membentuk lapisan sunyi di dalam diri. Kini, Eky berbicara. Dan dengan keberanian itu, ia tidak hanya menyuarakan luka pribadinya—ia membuka jalan bagi korban lainnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) segera merespons. Menteri PPPA, Arifah Fauzi, mengecam keras peristiwa tersebut. Ia menegaskan bahwa negara tak akan tinggal diam menghadapi kekerasan seksual terhadap anak, terlebih ketika pelakunya memanfaatkan posisi kepercayaan—seorang guru ngaji, tokoh spiritual yang seharusnya menjadi pelindung.
“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral dan keagamaan yang paling mendasar,” ujar Arifah dalam pernyataan resmi, Senin (5/5/2025).
Saat ini, satu korban telah melapor ke Polrestabes Makassar. Pelaku, berinisial SU, sudah diamankan polisi. Namun, bayangan dari masa lalu ini diperkirakan lebih luas. Dugaan kuat, ada lebih banyak anak yang menjadi korban, namun masih terbungkam oleh rasa takut, rasa malu, atau keyakinan bahwa tidak ada yang akan percaya.
KemenPPPA berkomitmen untuk mengawal proses hukum dengan pendekatan yang berpihak pada korban. Negara hadir untuk memastikan para korban mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum, bukan justru mengalami luka baru di ruang-ruang penyidikan.
Arifah menegaskan bahwa tindakan pelaku masuk dalam kategori kejahatan serius sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Pelaku bisa dijerat dengan pasal-pasal terkait kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan penyalahgunaan relasi kuasa.
Tindakan ini bukan sekadar penegakan hukum. Ini adalah penegakan nurani.
KemenPPPA juga menyampaikan apresiasi kepada para korban yang mulai bersuara. “Keberanian mereka adalah cahaya di tengah gelapnya sistem yang selama ini terlalu lama bungkam. Saat satu korban berani bicara, seribu jiwa lain mungkin mulai merasa aman untuk menyusul,” ujar Arifah.
Kasus ini bukan hanya tentang pelaku dan korban. Ini tentang bagaimana masyarakat kita memandang aduan seorang anak, tentang seberapa serius kita melindungi ruang-ruang suci seperti masjid dari kejahatan tersembunyi. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan luka yang tidak terlihat.
Kita harus belajar satu hal penting: diam bukan lagi pilihan. Karena dalam setiap keheningan yang kita pelihara, mungkin ada anak lain yang terus terluka.
Responses