Microsoft Pecat Dua Karyawan Setelah Protes Kontrak AI dengan Militer Israel

Microsoft Pecat Dua Karyawan Setelah Protes Kontrak AI dengan Militer Israel

mediarelasi.id, Washington – Raksasa teknologi Microsoft resmi memberhentikan dua pegawainya yang diketahui melakukan aksi protes terbuka terhadap keterlibatan perusahaan dalam proyek kecerdasan buatan (AI) bersama militer Israel. Peristiwa ini terjadi di tengah perayaan ulang tahun ke-50 perusahaan, Jumat (4/4/2025), di kantor pusat Microsoft di Redmond.

Kedua karyawan tersebut, Ibtihal Aboussad dan Vaniya Agrawal, menurut informasi yang dibagikan oleh kelompok advokasi internal No Azure for Apartheid, menyuarakan keberatan terhadap dugaan kerja sama teknologi Microsoft yang dikaitkan dengan operasi militer Israel di kawasan konflik.

Aksi Protes di Hadapan Petinggi Microsoft

Insiden bermula saat Aboussad, seorang insinyur perangkat lunak, naik ke atas panggung ketika CEO Microsoft AI, Mustafa Suleyman, tengah memaparkan inovasi terbaru perusahaan di bidang kecerdasan buatan. Di hadapan tamu penting termasuk pendiri Microsoft, Bill Gates, serta mantan CEO Steve Ballmer, Aboussad menyampaikan orasi singkat menentang kebijakan perusahaan yang menurutnya bertentangan dengan etika kemanusiaan.

“You menyuarakan bahwa AI digunakan untuk kebaikan, tetapi kenyataannya teknologi ini digunakan dalam operasi militer yang menewaskan ribuan orang,” ucap Aboussad, sebelum kemudian melemparkan keffiyeh—simbol solidaritas untuk rakyat Palestina—ke arah panggung.

Tak berselang lama, ia diamankan oleh petugas keamanan. Tak lama setelah itu, Agrawal juga menyampaikan protes serupa dalam sesi akhir acara.

Pemutusan Hubungan Kerja

Pada Senin (7/4), keduanya menerima pemberitahuan pemutusan hubungan kerja secara resmi, disampaikan melalui email dan pertemuan virtual internal. Hingga saat ini, Microsoft belum memberikan penjelasan rinci soal keputusan pemecatan, namun menyatakan bahwa perusahaan mendukung hak karyawan untuk menyampaikan pendapat—selama dilakukan secara bertanggung jawab dan tidak mengganggu aktivitas bisnis.

“Kami mengakui pentingnya dialog terbuka di antara karyawan, tetapi kami juga memiliki pedoman yang menjamin kelangsungan operasional dan lingkungan kerja profesional,” bunyi pernyataan resmi Microsoft.

Konteks Lebih Luas: Teknologi dan Perang

Protes ini muncul di tengah laporan yang dirilis oleh Associated Press, yang menyebutkan bahwa sistem AI buatan Microsoft dan mitranya, OpenAI, digunakan dalam proses identifikasi target serangan oleh militer Israel dalam konflik di Gaza dan Lebanon. Laporan itu memicu kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan teknologi AI dalam situasi bersenjata.

Salah satu kasus yang disorot adalah insiden tahun 2023, ketika serangan udara yang diduga didasarkan pada pemrosesan AI menewaskan tiga anak dan seorang perempuan lanjut usia di Lebanon. Meski tidak disebutkan secara langsung keterlibatan Microsoft dalam keputusan taktis di lapangan, dugaan penggunaan teknologinya dalam operasi tersebut menimbulkan reaksi beragam dari kalangan pegawai dan aktivis hak asasi manusia.

Bukan Kasus Pertama di Dunia Teknologi

Pemecatan pegawai karena protes kebijakan perusahaan bukan hal baru di dunia teknologi. Tahun lalu, lebih dari 40 karyawan Google juga kehilangan pekerjaan setelah menentang keterlibatan perusahaan dalam Project Nimbus, proyek kerja sama senilai lebih dari 1 miliar dolar AS dengan pemerintah Israel yang juga mencakup layanan cloud dan AI.

Kasus serupa telah memicu gelombang kritik dan mendorong wacana etika dalam pengembangan dan penerapan teknologi, terutama yang bersinggungan dengan konflik bersenjata dan kebijakan negara.

Beberapa dari mantan karyawan Google bahkan mengajukan gugatan hukum untuk menuntut keadilan atas tindakan perusahaan yang mereka nilai melanggar hak berekspresi.

Suara dari Dalam

Kelompok advokasi internal seperti No Azure for Apartheid menegaskan bahwa suara dari dalam perusahaan penting untuk menjaga akuntabilitas dan nilai-nilai kemanusiaan dalam pengembangan teknologi. Mereka menyerukan transparansi lebih lanjut dari Microsoft mengenai proyek-proyek strategis yang memiliki implikasi geopolitik dan etis.

“Teknologi seharusnya membawa manfaat bagi umat manusia, bukan memperdalam penderitaan dalam konflik yang sudah terlalu lama berlangsung,” ujar salah satu perwakilan kelompok tersebut dalam keterangan pers.

Hingga berita ini diturunkan, baik Microsoft maupun perwakilan dari kedua mantan karyawan belum memberikan pernyataan tambahan secara langsung kepada media.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *