PPN Naik Jadi 12% Mulai 2025, Sektor Ritel dan Saham Tertentu Terancam

PPN

mediarelasi.idKenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% resmi akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah memastikan kebijakan ini berjalan sebagai bagian dari upaya menjaga keberlanjutan fiskal negara.

Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor ekonomi, terutama di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.

Tim Riset Bareksa memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat memberikan tekanan tambahan pada sektor riil, mengingat pertumbuhan ekonomi saat ini masih terhambat oleh berbagai faktor seperti inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan tingginya suku bunga kredit.

Menurut analisis mereka, sektor ritel berisiko menjadi yang paling terdampak, terutama emiten yang fokus pada barang-barang tersier. Di antaranya adalah PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES), dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

Harga produk yang lebih tinggi akibat kenaikan PPN dikhawatirkan akan mengurangi minat konsumen, sehingga menekan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan ini.

Sebaliknya, sektor konsumer non-siklikal dipandang lebih defensif dan cenderung tetap stabil meski PPN naik. Emiten seperti PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dinilai memiliki daya tahan lebih kuat karena produk-produk mereka merupakan kebutuhan pokok.

Berdasarkan penutupan sesi perdagangan pada Senin, 18 November 2024, Tim Bareksa merekomendasikan beberapa saham di sektor ini, seperti JPFA dengan target harga Rp1.950, ICBP di Rp13.500, dan MYOR di Rp3.400. Saham lainnya yang direkomendasikan termasuk CMRY dengan target Rp6.200, INDF di Rp9.500, dan HMSP di Rp950.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN naik menjadi 12%, beberapa golongan dapat dikenakan tarif lebih rendah atau bahkan dibebaskan dari kewajiban ini.

“Ada tarif PPN yang bisa ditetapkan 5%, 7%, atau bahkan dinolkan,” ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI.

Menurutnya, kenaikan PPN diperlukan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus memberikan bantalan saat menghadapi potensi krisis global.

“APBN harus tetap sehat, tetapi juga fleksibel untuk merespons situasi darurat seperti krisis finansial global atau pandemi,” tambahnya.

Kebijakan ini menjadi tantangan bagi pelaku pasar dan masyarakat, dengan sektor tertentu diprediksi menghadapi tekanan yang lebih besar.

Namun, bagi investor, ini juga menjadi peluang untuk berfokus pada saham-saham defensif yang tetap menarik meski di tengah perubahan kebijakan pajak.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *